Minggu, 30 Agustus 2009

ANTI MALINGSIA....!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

June 24, 2009 - Wednesday
Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi saja adalah sebuah perang mengenai masa depan pulau Kalimantan, antara Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966.
Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai “boneka” Britania.
Latar belakang
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[1] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia.
Perang
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-”ganyang Malaysia”. Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan “Pengepungan 68 Hari” oleh warga Malaysia.
Akhir konfrontasi
Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Akibat
Konfrontasi ini merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.[1]
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia

June 19, 2009 - Friday
Kuala Lumpur - Pemerintah Amerika Serikat (AS) memasukkan kembali Malaysia dalam daftar hitam perdagangan manusia. Malaysia pun menuding AS telah tidak adil atas keputusan itu.
Dalam laporan tahunan Perdagangan Manusia (Trafficking in Persons Report) yang dirilis AS, disebutkan bahwa Malaysia gagal memenuhi standar minimum untuk memberantas perdagangan dan “tidak membuat upaya signifikan untuk melakukannya”.
Tahun 2008 lalu, AS menempatkan Malaysia dalam “daftar pengawasan” setelah sebelumnya pada tahun 2007, Malaysia dimasukkan dalam daftar hitam (blacklist) perdagangan manusia. Namun tahun 2009 ini, Malaysia justru kembali masuk daftar hitam.
“Tidak adil menempatkan kami kembali pada daftar karena kami berbuat sebaik mungkin,” kata Wakil Menteri Dalam Negeri Malaysia Abu Seman Yusop kepada wartawan di Kuala Lumpur seperti dilansir kantor berita AFP , Kamis (18/6/2009).
“Kita akan mempertimbangkan tindakan kita berikutnya dalam menentang masuknya kembali negara kita dalam daftar hitam itu,” tegasnya.
Dikatakan Abu Seman, pemerintah Malaysia tidak mengampuni perdagangan manusia. Malaysia juga telah mengambil tindakan tegas untuk mengatasi masalah itu. Termasuk memberlakukan UU antiperdagangan manusia pada tahun 2007 dan membentuk suatu gugus tugas khusus.
Malaysia masuk dalam daftar tersebut bersama 16 negara lainnya, seperti Arab Saudi dan Kuwait. Juga bersama enam negara Afrika yang baru masuk daftar tersebut: Chad, Eritrea, Nigeria, Mauritania, Swaziland, dan Zimbabwe.
Trafficking in Persons Report 2009 merupakan laporan tahunan AS yang menganalisis upaya 173 negara dalam menindak perdagangan manusia dengan tujuan kerja paksa, prostitusi, militer dan alasan lain.

June 13, 2009 - Saturday
Living in a neighbourhood, for me ,is a fun thing . we can share food with our neighbour , or just do some chat in the evening with them after work.Seems so nice indeed . But that’s doesn’t mean that we must share our husband or boyfriend with them right ? OR they can wear our clothes , right???
This is what happen here . Our neighbour country seems want to occupying our sources…AND our CULTURES….BATIK….REOG PONOROGO…O…O…that’s a big NO!!!
let’s see what happen in 2008.
Possession is nine-tenths of the law. That was the important lesson learned when the International Court of Justice found Malaysia’s claim over the Sipadan and Ligitan Islands more credible than Indonesia’s.
Though the country still has territorial claims to over 17,500 islands, this high-profile loss was a very bitter pill, and the effects still linger today. It is encouraging that the government has not forgotten this lesson by recognizing that the country’s first line of defense in securing dozens of outer islands is not the Indonesian Military (TNI), but migration and development.
Based on official records from the Home Ministry there are officially 17,504 islands spread across the Indonesian archipelago. This data represents a net loss of four islands since 2002 — two islands to Malaysia (Sipadan and Ligitan), and two to Timor Leste (Kambing and Yako Islands).
If the present government remains oblivious and approaches the issue with the same imprudence as its successors, the consequence may be more than the loss of relatively insignificant islands.
There are 88 islets straddling borders that Indonesia shares with 10 countries — Australia, India, Malaysia, Palau, Papua New Guinea, the Philippines, Singapore, Thailand, Timor Leste and Vietnam.
Only half of those 88 are inhabited.
Though Navy patrols and history may be on Indonesia’s side, ultimately it is the level of “”investment”" put into these islands that will be the determinant of ownership. Neighbors, though they are friends, cannot be entirely trusted.
It is encouraging that President Susilo Bambang Yudhoyono emphasized a commitment to populate these islands through a transmigration program, which began three years ago and is not supposed to copy the programs of former administrations, but alas this seems to have been largely neglected.
The President himself last month committed Rp 900 billion (US$94.7 billion) to a special fund for a major development drive for outer islands in border areas.
Though these islands are small (0.02 to 200 square kilometers), their possession guarantees rights to the maritime resources in the exclusive economic zone. Furthermore, further losses of islands threatens to redraw Indonesia’s archipelagic territorial borders.

More important for Yudhoyono is that it would be a political bombshell if his administration was even perceived to be less than assertive in ensuring territorial integrity. This was the reason he flatly rejected, during a meeting with Prime Minister Abdullah Badawi last month, the PM’s offer to jointly develop the Ambalat area, which Malaysia claimed shortly after the ICJ verdict.
Apart from uninhabited outer islands, time is running out in naming over 9,000 unnamed islands. Based on the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) it is required to properly register these islands.
An UNCLOS conference is due to be held in 2009, which serves as a deadline for Indonesia to register these islands. A special inter-departmental team was established in 2004, however it is questionable whether they can thoroughly complete this daunting task.
Another avenue being pursued that may come to fruition is through diplomatic/security treaties to ensure the overall territorial integrity of the republic.
Diplomats are putting the final touches on a security agreement with Australia, which guarantees that it respects Indonesia’s territorial expanse and rejects secessionist movements.
Diplomatic rhetoric may change with time, but at the very least, there is a de jure insurance on paper that will help settle fears of breakaway movements in the eastern part of the archipelago.
Indonesia is like a lush unkept backyard. We take no notice of it until our neighbor’s kids start climbing the fence to pick the ripened fruit.
When it is too late and the trees are all bare, then we get angry and start paying attention.
SO , THE GOVERNMENT MUST PAY ATTENTION ABOUT IT…iF DON’T WANT LOOSE OUR ISLANDS AGAIN…

June 13, 2009 - Saturday
Just Intermezo.
Tau gak kalau gara-gara Malaysia, Kita jadi semakin bersatu. Menurut pengamatan saya di forum-forum Online Indonesia, yang biasanya banyak sekali thread saling mengejek suku, agama, ras sesama orang Indonesia menjadi sedikit sepi.
Sekarang semuanya pada kumpul di thread yang membahas persoalan Indonesia dan Malaysia, dan semuanya bersatu mengatakan “ganyang malaysia” ahahhahah.
Jika kamu-kamu lagi marahan sama Istri, pacar, teman, mertua atau tetangga segera bahaslah persoalan Malaysia dan Indonesia, saya jamin akan langsung baikan, dan sama-sama mengucap “ganyang malaysia”.

0 komentar:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Volkswagen Cars. Powered by Blogger